Resensi Buku
Oleh: Nina Andriana
Judul buku : Ecofeminism; Perspektif gerakan perempuan & lingkungan
Penulis : Vandana Shiva & Maria Mies
Penerjemah : Kelik Ismunanto & Lilik
Tebal : 381 hlm.
Cet. : I, April 2005
Penerbit : IRE Press, Yogyakarta
DARI PEREMPUAN KE KESEIMBANGAN DUNIA
Dua perempuan dari budaya yang berbeda mencoba menyuarakan kegelisahan kemanusiaan akan krisis lingkungan dari sudut pandang gerakan perempuan. Sebuah gerakan lingkungan dari sudut pandang feminisme. Ecofeminism.
Vandana Shiva, seorang ahli fisika, berlatar belakang gerakan ekologis dari belahan dunia Selatan, India, sedangkan Maria Mie adalah seorang ilmuwan sosial, berlatar belakang gerakan feminis dari belahan dunia Utara, Jerman, keduanya dalam buku ini mencoba menyatukan visi, mengeksplorasi secara menyeluruh—dari teori hingga praktek—tentang gerakan perempuan dan lingkungan. Sebuah usaha dan perpaduan yang jarang.
Gerakan perempuan bukanlah hal yang baru. Gerakan lingkungan juga tidak baru. Namun, apabila keduanya bergerak seirama, tentu layak diapresiasi. Konferensi pertama ekofeminisme tampak pada tahun 1980 di Amherst. Sebuah kenyataan yang menggugah kesadaran manusia. Karena hanya delapan tahun pasca konferensi lingkungan hidup pertama di Stockholm tahun 1972. Barangkali konferensi itu hanya menjadi titik kulminasi dari perjuangan yang talah lama dilakukan. Ekofeminisme, kini, bahkan sudah berkembang menjadi sebuah aliran gerakan, juga merupakan aliran etika.
Ekofeminisme berkembang dari feminisme. Dimana ia merupakan sebuah gerakan perempuan dan juga aliran filsafat yang mempersoalkan, mempertanyakan dan menggugat cara pandang dominan dan umum berlaku dalam era modern yang diwarnai oleh cara pandang maskulin, patriarkis, dan hierarkis. Berdasarkan hal itu, feminisme bisa menjadi bagian dari aliran filsafat post-modernisme. Ia bisa dibaca juga sebagai sebuah filsafat atau teori politik, kritik ideologi, teori sosiologi, studi kebudayaan, bahkan secara khusus sebagai sebuah teori etika. Namun, feminisme pada dasarnya mempersoalkan dan menggugat nilai, norma, prinsip dan klaim moral yang abstrak dan besar yang dianggap berlaku universal. Secara keseluruhan, feminisme adalah sebuah kritik terhadap paradigma paternalistik.
Salah satu kritik dari gerakan feminis tersebut, terimplementasi dalam sebuah gerakan lingkungan untuk mengembalikan keseimbangan bumi. Gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan nama ecofeminism.
Ekofeminisme pertama kali diperkenalkan oleh Feminis Perancis, Francoise d’Eaubonne, pada tahun 1974 lewat buku Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya ini, Francoise d’Eaubonne menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum perempuan untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
Ekofeminisme pada tataran ekologi berarti sebuah teori dan gerakan lingkungan yang ingin mendobrak pandangan pada umumnya, yakni bersifat paternalistik-reduksionistik-antroposentris. Lebih jauh lagi, ekofeminisme mengkritik androsentrisme, yaitu teori gerakan lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Karren J. Warren berpendapat bahwa logika konseptual androsentrisme yang menindas, memiliki tiga ciri utama: pertama, berpikir tentang nilai secara hierarkis. Kedua, dualisme nilai, yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia vs alam). Ketiga, logika dominasi, yaitu struktur dan cara berfikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi.
Kemerosotan kualitas lingkungan manusia tak pelak diakibatkan oleh cara pandang yang reduksionis dan paternalistik terhadap alam. Perempuan (sebagaimana juga alam) dipandang makhluk kedua dari laki-laki. Pandangan ini menguasai hampir seluruh paradigma peradaban modern. Ekonomi, politik, sosial, ekologi, maupun teknologi.
Upaya untuk mendobrak slogan besar modern yang reduksionis-dualistik, merupakan bagian dari kritik feminisme. Sebenarnya pola pikir seperti ini, pola pikir modern, berasal dari mitologi Yunani yang kemudian diwarisi oleh Dunia Barat. Dahulu kala, manusia tunduk dan diperbudak oleh alam, karena adanya keyakinan bahwa dewa-dewi bersembunyi di balik kehebatan alam, seperti di balik gelombang samudra, di balik teriknya matahari, di belakang derasnya sungai, di puncak ketinggian gunung, di balik rindangnya pepohonan.
Setelah manusia mengetahui rahasia alam, maka manusia melancarkan "balas dendam" dan alam pun ditaklukkan. Gunung didaki, ombak diseberangi, hutan dan pepohonan "ditebang" dan "ditaklukkan", kesemuanya demi kepentingan manusia dan bukan demi kepentingan alam secara keseluruhan.
Diawali dengan penelusuran teoretis ilmu pengetahuan modern yang reduksionis, Vandana Shiiva menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan modern telah mereduksi pengetahuan manusia menjadi pengetahuan paternalistik. Bahkan sampai kepada reduksi reproduksi manusia. Di tingkatan praktis, Maria Mies mengamati perkembangan di dunia maju dengan paradigma ‘mengejar pembangunan’, yang berakibat pada kerusakan lingkungan yang tak terperi. Sementara Vandana Shiva mengamati juga manfaat pembangunan bagi dunia ketiga. Namun, justru pembangunan itulah yang memiskinkan rakyatnya, juga memiskinkan lingkungannya. Semua berada dalam jejaring paradigma yang reduksionis-paternalistik.
Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekedar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris. Krisis ekologi sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam. Dan Ekofeminisme menawarkan cara pandang yang holistik, pluralistis, dan inklusif, yang lebih memungkinkan lelaki dan perempuan membangun relasi setara, untuk mencegah kekerasan, menentang perang, dan menjaga alam-lingkungan di mana mereka hidup.
Kelebihan buku ini bukan hanya karena ia mampu menerangkan latar belakang subordinasi perempuan, tetapi juga latar belakang kerusakan lingkungan hidup global. Ekofeminisme dalam buku ini melihat masalah sosial, kultural, politik, teknologi, dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antar-kelompok manusia (ras, etnik, negara, bangsa, agama, seks, gender) dan relasi antar-manusia dengan alam-lingkungannya yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia itu sendiri, yang berupa perang maupun kehancuran lingkungan hidup.
Ekofeminisme menggambarkan betapa energi feminitas sangat berpotensi menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet Bumi, planet tempat kita (lelaki maupun perempuan) hidup. Ekofeminisme dengan sangat baik juga mampu menerangkan betapa hiper-maskulinisme ternyata juga berperan pula terhadap kerusakan ekosistem. Akibatnya, ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan gender pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum lelaki. Bila alam-lingkungan rusak, bukankah semua manusia, lelaki maupun perempuan, pada akhirnya akan menderita? Sebaliknya, bila alam-lingkungan lestari dan terjaga, bukankah manusia (lelaki dan perempuan) akan lebih sejahtera?
Akhirnya, dalam perspektif ekofeminisme, pandangan dunia membutuhkan sebuah kosmologi dan antropologi baru yang memandang bahwa hidup di alam harus dipertahankan dengan jalan saling kerjasama, saling memberi perhatian, dan saling mencintai. Kaum ekofeminis mengajak manusia untuk "merangkai kembali dunia" dengan keseimbangan, ketulusan dan dengan cinta. Keseimbangan dunia berawal dari keseimbangan identitas kemanusiaan. Keseimbangan laki-laki dan perempuan. Yin dan yang.[]
1 comment:
llagi cari bukunya :(
Post a Comment